Socio Ecological System: Sebuah Pendekatan Riset oleh Tim Ecoculture PKM RSH IPB, Cara Baru Memahami Relasi Manusia dan Alam dari Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Table of Contents
![]() |
Foto: Pengambilan data penelitian masyarakat kampung adat Cireundeu. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
emhate.com - Sebuah pepatah Sunda mengatakan “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak”. Artinya, jika hutan rusak dan air habis, maka manusia akan sengsara. Ungkapan tersebut menggambarkan betapa pentingnya menjaga hutan bagi kelangsungan hidup manusia, dan mengingatkan bahwa manusia semestinya senantiasa menjaga hubungan baik dengan alam sekitarnya.
Manusia dan hutan seringkali dianggap sebagai menjadi dua hal yang terpisahkan, tetapi pada kenyataanya, sejak dahulu keduanya saling terkait erat dan mengalami berbagai dinamika seiring dengan perubahan waktu. Hutan menyediakan sumber makanan, air, dan bahan bakar bagi kelangsungan hidup manusia, sementara manusia mengelola dan memanfaatkan sebagian dari dalamnya. Akan tetapi, pada era modern saat ini, pengelolaan dan pemanfaatan hutan cenderung eksploitatif dan antroposentris, sehingga mengakibatkan laju deforestasi dan kerusakan lingkungan terus meningkat setiap tahunnya.
Di tengah disrupsi ekologi yang terus menggerus tutupan hutan, ada segelintir masyarakat adat yang masih mempertahankan hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang harus dijaga. Masyarakat Adat Kampung Adat Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menjaga keseimbangan ekosistem di tengah tekanan modernisasi dan disrupsi ekologi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan bagi Tim Riset Ecoculture “Apa yang membuat ekosistem hutan di Kampung Adat Cireundeu masih terjaga? Apakah ada hubungan antara nilai-nilai adat mereka dengan kelestarian hutan disana?
Pendekatan Socio-Ecological System (SES) digunakan tim Ecoculture untuk memahami keterhubungan antara masyarakat Kampung Adat Cireundeu dengan lingkungannya. SES memandang manusia dan alam bukan sebagai dua hal terpisah, melainkan sebagai satu jaringan yang saling mempengaruhi. Dalam kerangka ini, ada empat subsistem yang membentuk hubungan tersebut: sistem sumber daya (Resource System) seperti hutan dan tanah, unit sumber daya (Unit Resource) berupa pohon, air, atau tanaman pangan, sistem tata kelola (Governance System) berupa aturan dan nilai adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya, serta pengguna (Users), yaitu masyarakat yang hidup dan bergantung pada ekosistem tersebut. Dengan melihat interaksi keempat subsistem ini, kita dapat memahami bahwa kelestarian hutan di Cireundeu lahir dari kombinasi antara kearifan budaya, aturan adat, dan pemanfaatan sumber daya yang selaras dengan alam.
Kampung Adat Cireundeu merupakan contoh nyata bagaimana sistem sosial dan ekologi saling berjalin. Tradisi makan singkong sebagai makanan pokok, misalnya, tidak hanya menunjukkan identitas budaya, tetapi juga menjadi strategi ekologis: mereka tidak terlalu bergantung pada beras yang produksinya sering menekan lahan pertanian dan hutan.
Selain itu, sistem aturan adat yang dijalankan masyarakat berfungsi sebagai governance system. Ada larangan untuk merusak hutan di wilayah tertentu, ada ritual yang meneguhkan ikatan spiritual manusia dengan alam, serta ada praktik gotong royong dalam mengelola lahan. Lebih jauh, masyarakat Cireundeu juga menerapkan aturan pembagian zona hutan yang memperlihatkan kearifan ekologisnya.
![]() |
Foto: Wawancara dengan sesepuh adat. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Hutan larangan (Leuweung Larangan) diposisikan sebagai ruang sakral yang tidak boleh disentuh oleh aktivitas manusia karena menjadi tempat bertapa sekaligus penghormatan kepada leluhur. Hutan tutupan (Leuweung Tutupan) berfungsi sebagai kawasan penyangga dan reboisasi, di mana pemanfaatan sumber daya alam diperbolehkan secara terbatas dengan prinsip regeneratif, yaitu kewajiban menanam kembali setiap pohon yang diambil. Sementara itu, hutan baladahan (Leuweung Baladahan) digunakan sebagai lahan pertanian berkelanjutan yang ditanami jagung, kacang-kacangan, ketela, dan umbi-umbian. Ketiga zonasi ini mencerminkan bentuk harmonisasi antara struktur sosial adat dengan pengelolaan ekosistem secara lestari. SES dapat menjelaskan bahwa kelestarian hutan di Cireundeu bukanlah kebetulan, melainkan hasil interaksi yang kompleks antara nilai budaya, aturan adat, dan ekosistem.
Pelajaran dari Kampung Adat Cireundeu relevan tidak hanya bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi kita semua. Di tengah ancaman disrupsi ekologi, deforestasi dan kerusakan lingkungan, SES menawarkan cara baru melihat hubungan manusia dan alam. Bahwa menjaga hutan bukan hanya soal pohon, melainkan soal menjaga kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang bergantung padanya. Jika kearifan lokal bisa dipahami dalam kerangka SES, maka kita memiliki peluang untuk mengintegrasikan nilai budaya ke dalam kebijakan lingkungan modern. Hal ini bisa menjadi jalan keluar dari model pembangunan yang selama ini cenderung menyingkirkan perspektif kearifan lokal dari masyarakat adat.
Kampung Adat Cireundeu menunjukkan bahwa harmoni manusia dan alam bukan sekadar utopia, melainkan realitas yang bisa diwujudkan. Masyarakat adat dengan tradisinya mampu menjaga hutan tetap hidup, sementara hutan menjaga mereka tetap bertahan. Seperti pepatah Sunda tadi, kerusakan hutan berarti penderitaan manusia. Namun sebaliknya, menjaga hutan berarti menjaga kelangsungan hidup manusia.
Gabung ke saluran WhatsApp emhate.com untuk mendapatkan informasi lebih update. Klik link di bawah ini.
Posting Komentar