Jadi Mahasiswa Haruskah Ikut Aksi?
Ilustrasi aksi mahasiswa. (Foto: Pixabay.com)
emhate.com - Seorang orator bicara dengan lantang bahwa mahasiswa bukan lagi sebagai siswa. Ada kata ‘maha’ yang tersemat dalam mahasiswa. Itu artinya lebih dari siswa, bukan sekadar belajar dan belajar. Namun, bagaimana memikirkan rakyat dan bangsanya.
Hal tersebut kerap kali terdengar oleh mahasiswa baru (maba). Tidak lain, kata-kata tersebut menjadi bara api dan menyadarkan kepada para maba bahwa mahasiswa ini punya tanggung jawab moral yang diembannya.
Kita akui memang tidak semua pemuda-pemuda di Indonesia yang duduk di bangku kuliah. Karena berbagai faktor, sebagian dari pemuda Indonesia itu mengakhiri pendidikannya di menengah atas atau kejuruan. Bahkan, beberapa pemuda lainnya ada yang harus berakhir di menengah pertama.
Maka dari itu, sebagai kepanjangtanganan rakyat, mahasiswa punya tanggung jawab moral. Itu kata para aktivis yang kerap didengar oleh telinga penulis.
Untuk menjalankan tanggung jawabnya itu, tidak sedikit mahasiswa yang berani bertaruh untuk membela atas nama rakyat. Menggelar aksi di depan istana hingga gedung wakil rakyat.
Memang sejarah sudah membuktikan bahwa dengan suara-suara mahasiswa mewakili rakyatnya bisa menurunkan suatu rezim. Misalnya saja tahun 1998 yang merupakan salah satu aksi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Setelah berhasil menggulingkan rezim, beberapa tahun terakhir ini suara-suara mahasiswa menegakkan keadilan sangat dirindukan oleh rakyat. Penulis kadang kala mendengar celotehan “Mahasiswa mana nih?” dari rakyat.
Celotehan singkat bak bercanda. Namun, di belakang diksinya ada makna yang sangat dalam. Mereka ingin jeritan-jeritan rakyat disampaikan oleh mahasiswa kepada penguasa.
Menyuarakan Jeritan Rakyat Harus dengan Aksi?
Menurut penulis, pertanyaan ini memang bisa menimbulkan pro kontra. Bagi para aktivis kampus, aksi adalah jalan untuk menyuarakan jeritan-jeritan rakyat kepada penguasa. Namun tidak bagi mahasiswa lain. Beberapa memilih menyuarakan suara hati rakyat dengan cara lain. Misalnya dengan gagasan ide, pekan kreativitas mahasiswa (PKM), dan lain sebagainya.
Penulis pernah mendengar dari salah satu lulusan sarjana. Dia bercerita semasa di kampusnya bahwa memilih cara lain untuk menyuarakan jeritan rakyat. Namun ia tidak menyalahkan kepada mereka yang turun aksi di jalan.
Sejatinya begitu. Untuk bersuara tidak harus dengan aksi di jalan, tapi aksi jadi salah satu cara untuk menyuarakannya keadilan-keadilan yang terus timpang.
Fenomena masa kini, beberapa mahasiswa sering ditemukan sekadar ikut-ikutan aksi tanpa tahu akar masalah atau isu yang diangkat. Sejatinya siapapun yang turun aksi, ia harus tahu dulu apa yang sedang disuarakannya. Jangan sampai sekadar ikut-ikutan hanya untuk mencari tenar dan konten media sosial. Jangan sampai aksi yang dilakukan ada unsur politik di belakangnya.
Posting Komentar