Pertemuan Penuh Makna #86

Daftar Isi

MHT bersama guru Pondok Pesantren Al-Inabah, Ciseeng.

Tarawih pertama tak biasanya di luar. Itu karena untuk mengambil banner menyambut Ramadan yang seharusnya diambil sejak siang. Namun, baru sempat setelah melewati agenda perkuliahan dan guyuran hujan.


Berangkat seusai Maghrib. Kala itu masih menunggu pengumuman resmi dari pemerintah terkait penetapan 1 Ramadan 1442 H. Walau belum tahu kapan jadinya puasa, saya bersama motor kesayangan -Astrea Grand- berangkat ke percetakan sekaligus ke pondok pesantren adik saya di Ciseeng.


Komunikasi terus saya lakukan dengan panitia Ramadan Barudak 41. Kalau jadi malam itu tarawih, berarti seusai tarawih agenda menyambut Ramadan itu jadi digelar. Banner sebagai salah satu penanda wajib ada. Namun, sampai Maghrib belum ada pula. Akhirnya, sayalah berangkat untuk mengambil. Di tengah perjalanan kemudian memutuskan untuk mengambil banner dulu, lalu ke Ciseeng setelah mengantar banner.


Tarawih Pertama di Luar
Setiap berhenti mengendarai, saya cek gawai. Bukan apa-apa. Saya update berita pengumuman 1 Ramadan 1442 H. Walau saat itu ada kiriman story WhatsApp tentang surat edaran dari dua organisasi Islam, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Keduanya memutuskan bahwa 1 Ramadan jatuh pada 13 April 2021. Walaupun sudah mendapat informasi dari kedua surat itu, keputusan dari pemerintah belum diumumkan.


Isya tiba. Saya yang belum lagi cek berita merasa yakin malam itu adalah salat tarawih pertama. Ternyata benar, sesampainya saya di lokasi percetakan dengan kondisi basah kuyup, kemudian mengambil banner dan bergegas ke masjid terdekat, jemaah masjid itu sedang melaksanakan salah tarawih. Tentu saja saya langsung gabung.


Hujan pun masih mengguyur daratan Bogor. Untung saja membawa mantel (walau sobek). Setelah selesai melaksanakan tarawih, langsung saja kembali ke Pasir Angin. Mengantarkan banner dan ikut foto bersama dengan rombongan anak-anak yang semangat menyambut Ramadan.


Bertolak ke Ciseeng
Tidak lama sampai di Pasir Angin, gas saya tancap lagi menuju Ciseeng. Ini adalah amanah orang tua untuk mengirim uang ke adik yang sedang mondok. Kalau kondisinya saat Ramadan, istilahnya sering disebut pasaran.


Perjalanan Pasir Angin-Ciseeng saya tempuh sekitar 1 jam lebih. Berangkat melalui jalan tikus dan melihat pemandangan malam kanan kiri yang berbeda-beda sensasinya.


Sesampainya di Ciseeng, saya tak langsung bertemu dengan adik. Sebab, adik saya yang bernama Fikri ini masih mengaji di madrasah. Akhirnya, saya berbincang saja dengan salah satu santri di situ sambil mengenang masa-masa menjadi santri di pondok ini.


Enam tahun lalu atau tahun 2015, saya pernah mengikuti pasaran selama bulan Ramadan di pondok pesantren Al-Inabah ini. Saya fokus pada pembelajaran Alquran. Di tempat ini jugalah saya dididik, dibina, dan ditempa untuk menjadi seorang santri yang sesungguhnya.


Saya melihat pondok pesantren ini sudah mengalami perubahan. Namun, bangunannya masih khas. Terbuat dari bambu dan bentuknya panggung. Di sekelilingnya terdapat kolam (empang) ikan lele. Ada juga ikan lainnya. Menurut informasi yang didapat, saat ini memang sedang ternak lele. Namun, bukan lele daging, melainkan bibit yang nantinya dijual lagi. Sebab, kalau sampai daging membutuhkan modal yang besar.


Menunggu sekitar 1 jam. Akhirnya datang juga Fikri. Awalnya dia gak sadar, tapi ketika diberi kode, dia sadar juga akhirnya.


Ternyata adik saya ini memiliki hobi memelihara ikan cupang. Tampak di depan kamarnya ikan-ikan cupang yang disimpan di plastik. Katanya jumlahnya sampai 200 ekor. Kalau dijual harga pasarannya sekitar 2.500.


Bertemu Murabbi
Sudah lama tak bertemu dengan guru. Akhirnya saya memutuskan untuk bertemu. Saya bersyukur bertemu lagi dengan guru ngaji. Walau tidak lama, tapi ilmunya sangat membekas dan diamalkan setiap membaca Alquran.


Ternyata pertemuan itu tidak sebentar. Guru saya begitu asyik bercerita tentang masa-masa pesantrennya. Katanya, santri zaman sekarang sangat beda jauh dari zaman dulu. Dulu ia kalau ke pesantren harus jalan kaki. Bahkan, alat komunikasi pun masih belum terlalu familiar. Kabar keluarga pun baru bisa didapatkan ketika ada keluarga yang ke pesantren. Mendengar kabar tentang keluarga di rumah rasanya begitu terdapat makna. Kalau sekarang kabar itu bisa tahu kapan saja dengan adanya smartphone.


Pengalaman di pesantrennya -pesantrennya di Pasir Angin, di dekat rumah saya- hingga saat ini masih teringat. Dulu, ia bersama santri sering bermain bola. Konon tim santri Pasir Angin (Babakan) sering menang terus ketika menggelar pertandingan. Biasanya sesuai bermain bola, santri-santri langsung mengambil kayu bakar untuk kebutuhan bahan bakar memasak dengan tungku.


Ia juga bercerita, rumah yang sekarang saya tempati ini dulunya adalah kolam ikan (kulah) lebar. Belum banyak bangunan seperti sekarang. Kemudian, aktivitas mancing hingga menggembala kambing sudah menjadi rutinitas.


Masih informasi dari guru saya, pernah pondok pesantren di dekat rumah saya itu santrinya mencapai 150 orang. Bangunan awalnya dari papan. Ada dua bangunan yang saling berhadapan. Kemudian, bangunan itu direnovasi. Satu dirubah menjadi tembok dengan berbentuk huruf L, satu lagi masih dengan papan (disebutnya kobong heubeul).


Banyak juga yang guru saya ceritakan. Kemudian ia berpesan, walau sekarang kuliah, niatkan untuk beribadah. Ia mengutip salah satu hadist Nabi Muhammad SAW bahwa jika kita ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia, harus dengan ilmu. Jika ingin mendapatkan kebahagiaan di akhirat, harus dengan ilmu. Jika ingin mendapatkan kebahagiaan keduanya, harus dengan ilmu juga.


Walau pertemuan singkat. Alhamdulillah saya bersyukur bisa belajar lagi dengannya. Insya Allah ilmunya akan terus bermanfaat bagi saya. Saya pun berikhtiar untuk mengamalkan dan membagikannya kembali kepada orang-orang terdekat.


Bogor, 13 April 2021
MHT

emhate.com
emhate.com Menulis Tanpa Henti

Posting Komentar